Monday 9 January 2017

Sejarah Sandiwara Indramayu-Cirebon

INDRAMAYU, sebuah fenomena budaya paling unik di Pantai Utara Jawa Barat. Di daerah ini ratusan kesenian tradisional tumbuh subur bersama masyarakat agraris (rural) dan urban yang ada di dalamnya. Perjalanan panjang sebuah sistem budaya yang merupakan persilanagan antara berbagai budaya di Tanah Air dan mancanegara. Dalam perjalanan sandiwara rakyat – sebagian masyarakat pantura menyebutnya “masres” – berawal dari keinginan berekspresi masyarakat perdesaan yang agraris.
Pada masa kolonial, berkembang seni tooneel (sandiwara), yang ikut memengaruhi lahirnya sandiwara rakyat semacam ketoprak. Pada masa sebelum kemerdekaan, seni semacam ini di Indramayu awalnya disebut setoprak, kemudian ada juga yang menyebutnya “masres” dan sejak dekade 1970an lebih dikenal dengan sebutan sandiwara. “Ihwal penyebutan setoprak merupakan logat lidah wong Dermayu untuk penyebutan seni ketoprak,” kata budayawan Dermayu, penulis buku “Budaya Dermayu” dan “Sisi Gelap Sejarah Indramayu”, Supali Kasim. “Akan halnya sebutan masres, sesungguhnya merupakan sebuah nama kelompok di daerah Bedulan/Suranenggala Kabupaten Cirebon. Lama kelamaan masyarakat menyebut kesenian tersebut sebagai masres”.
Penamaan lain asal usul “masres” pernah disampaikan “Raja Tarling” H. Abdul Adjib (alm), berasal dari nama benang dalam membuat kelir atau layar. Layar pembuka sandiwara rakyat ini bermacam-macam. Ada yang merah, kuning, hijau, maka masyarakat pun menyebutnya dengan penyesuaian kelir tersebut, seperti masres abang (merah), masres ijo (hijau) dan masres kuning. “Sudah menjadi salah kaprah dalam sebutan, seperti sebutan pada merek air mineral atau jean, masyarakat menyebutnya mereknya, bukan nama bendanya,” ujar H. Abdul Adjib dalam diskusi di berbagai tempat saat masih aktif berkesenian.
Tahun 1960 dan 1970an merupakan masa keemasan jenis sandiwara rakyat ini. “Di sepanjang jalur jalan raya Pantura Dermayu, deretan nama-nama sandiwara, seperti Chandra Kirana, Langensari, Tjenderawasih dan lainnya seakan bersaing menawarkan kelompoknya untuk ditanggap,” ujar budayawan Dermayu lainnya, Nurochman Sudibjo dalam suatu perjalanan di sepanjang Pantura bersama penulis.
Fenomena yang sama terjadi pula di sepanjang jalar Pantura Kabupaten Cirebon. Dari perbatasan Krangkeng Indramayu hingga Desa Kalisapu Kabupaten Cirebon berjajajar pula nama-nama grup sandiwara, seperti Budi Suci, Budi Dharma dan sebagainya. Kini, seperti juga kata Nurochman, papan nama atau plang-plang sandiwara rakyat itu telah berganti dengan nama jenis kesenian lain, seperti organ tunggal, grup dangdut dan sebagainya.
Karakteristik masyarakat pantura yang keras, ternyata berubah drastis menjadi ekspresi seni dalam bentuk kelembutan, kewibawaan dan kearifan saat mereka bermain di atas panggung atas tanggap tuan hajat. Gelar “raja sewengi” atau “begal sewengi” telah menjadi fenomena kebanggaan bagi para pemeran lakon-lakon tersebut.
Sejak 1940an
Menurut Supali Kasim, kemunculan sandiwara rakyat tersebut sekira tahun 1940an. Sebelumnya sudah ada jenis kesenian reog Cerbonan, yang berjuluk “Reog Sepat”, yang ceritanya dari kontek kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama terdapat kesenian yang disebut tooneel/stambul/ketoprak grup Cahya Widodo dengan acara “bebarang” atau ngamen. Tahun 1956 ada nama kelompok “masres” di Desa Bedulan (Suranenggala) Kabupaten Cirebon.
Di Indramayu pada 1950an muncul grup sandiwara yang dipelopori mama Domo Suradji dengan grupnya “Tjendrawasih” di Desa Lohbener Indramayu. Mama Domo banyak berperan sebagai pelaku protagonis (serie//pemain utama), namun terkadang juga menjadi penari pembuka atau pelawak (bodor), di samping sebagai sutradara. Selepas dari grup Cendrawasih, ia masuk ke grup-grup lainnya, seperti Panglipur Manah (Lohbener), Chandra Kirana (Gegesik, Cirebon) dan Indra Putra (Cangkingan, Indramayu).
Berbagai grup lainnya bermunculan di darah lumbung padi tersebut, Gadjah Mada (Sukra) pada 1955, Dharma Saputra (Plumbon Indramayu), Aneka Tunggal (Pawidean, Jatibarang), Tunggal Ika Itugu Sliyeg), Indra Putra (Cangkingan) Purba Sari (Lelea), Erlangga (Bongas), Dwi Warna (Losarang), Gema Nusantara (Sukra), Dharma Ayu (Anjatan), Yudha Putra (Bangkir), Sang Putra Dharma (Plumbon Indramayu), Nawang Wulan (Bongas) dan nama-nama lainnya di berbagai pelosok desa.
“Tema yang diangkat dalam laokon sandiwara, sebenarnya merupakan gambaran pemerintahan dan rakyat sebuah kerajaan yang diidealkan masyarakat,” ungkap Supali. “Setting yang diambil berlatar kerajaan atau kesultanan pada suatu zaman di Nusa Jawa. Pemerannya adalah gambaran ideal putri raja yang cantik, pangeran yang tampan, raja yang sakti, permaisuri yang sabar, maha patih yang bijak ataupun tokoh antagonis oknum pejabar kerajaan yang jahat atau juga gambaran buta (raksasa) sebagai simbol masyarakat primitif dan tidak beradab.”
Gambaran tersebut, menurutnya, mengidealkan bagaimana negara harus mampu menyingkirkan musuh sekaligus memakmurkan rakyatnya. “Seni sandiwara meraih booming sejak 1960an hingga dekade 1990an,” ujarnya. (NMN)***
Posted by Herlando

No comments:

Post a Comment