Monday, 9 January 2017

UNSUR PEMENTASAN DRAMA “SANDIWARA"

1.Naskah
Bila Anda akan mengadakan pertunjukan drama atau sandiwara yang dibutuhkan pertama-tama adalah naskah drama. Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut berisi nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan, keadaan panggung. Bahkan kadang-kadang dilengkapi tentang tata busana, tata lampu dan tata suara(musik pengiring). Naskah drama mengutamakan pembicaraan tokoh, penuturan ceritanya melalui dialog. Permainan drama dibagi atas babak. Tiap babak berisi satu peristiwa dengan waktu dan suasana tertentu. Untuk memudahkan para pemain drama, naskah juga dilengkapi dengan keterangan atau petunjuk. Petunjuk itu misalnya gerakan-gerakan yang dilakukan pemain, tempat terjadinya peristiwa, benda-benda atau peralatan yang dibutuhkan setiap babak, dan sebagainya.
Ketika kami bertanya ke ketua dari Sandiwara Gelora Buana, mereka melakukan sebuah adegan tidak perlu diberikan naskah untuk menghafal, tetapi cukup dengan arahan Sutradara membagikan atau menunjuk peran atau tokoh tertentu pada pemain. Jadi, naaskah dalam sandiwara tidak tertulis seperti naskah-naskah dalam sinetron atau sebagainya, karena dalam sandiwara mereka berimprovisasi dengan kata-kata tanpa mengubah jalannya sebuah cerita.
2.      Pemain
Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Jumlah pemain akan tergantung dari tokoh yang dipentaskan. Seorang pemain harus benar-benar seperti tokoh yang dimainkan. Untuk itu, ia harus menguasai dan mampu memerankan watak, tingkah dan busana lain yang mendukungnya.
Pemain-pemain dalam sandiwara Gelora Buana yaitu para pemain tetap, mereka sudah menghayati setiap tokoh yang diperankannya dengan profesional. Walaupun berganti-ganti peran, para pemain sudah tahu harus bagaimana dengan tokoh yang dibawakannya.
3.      Sutradara
Sutradara adalah pemimpin pementasan drama. Hal yang mula-mula dilakukan seorang sutradara adalah memilih naskah (atau ditulis sendiri). Naskah dibaca berulang-ulang untuk memahami cerita dan menafsirkan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Selanjutnya memilih pemain yang akan memerankan tokoh dalam naskah. Pemain yang telah terpilih akan dibimbing dan diarahkan oleh sutradara agar mampu memerankan tokoh dengan baik. Selain itu, ia harus menunjuk penata rias, busana. lampu, dan suara. Pada akhirnya ia harus bekerja sama dengan para petugas dan mengkoordinasikan semua bagian.
Dalam sandiwara, sutradara sangat berperan banyak karena sutradaralah yang mengatur jalannya sebuah cerita dalam pementasan dan bertanggung jawab penuh dengan kesuksesan pementasan. Sutradara yang menunjuk setiap tokoh beserta peran dan menjelaskan bagaimana alur cerita dimulai sampai berakhir.
4.      Tata Rias
Tata rias adalah cara mendandani pemain. Orang yang mengerjakannya disebut penata rias. Dalam sebuah sandiwara para pemain merias diri mereka sendiri tanpa ada bantuan dari penata rias, kalaupun membutuhkan bantuan teman mereka sendiri yang membantu riasan tersebut tanpa adanya seorang penata rias ikut campur di dalamnya.
5.      Tata Busana
Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Tata busana erat sekali dengan tata rias, sehingga tugas mengatur pakaian pemain sering dirangkap dengan penata rias.
Busana yang dikenakan pemain ternyata sudah dipersiapkan oleh setiap pemain, tanpa harus meminta busana pada seorang penata busana. Para pemain sudah tahu kalau menjadi tokoh ini maka ia harus mengenakan baju seperti itu, hanya saja busana yang terlalu rumit seperti Nyi Blorong atau Ratu Pantai Selatan busananya meminjam ke salon atau tempat peminjaman baju.
6.      Tata Panggung dan Tata Lampu
Tata panggung adalah pentas atau arena untuk bermain drama. Biasanya letaknya di depan tempat duduk penonton dan lebih tinggi dari kursi penonton. Tujuannya agar penonton yang duduk di kursi paling belakang dapat melihat apa yang ada di panggung.  Tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan untuk permainan drama. Panggung harus menggambarkan tempat, waktu dan suasana terjadinya sebuah peristiwa.
Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Karena itu, lampu erat sekali hubungannya dengan tata panggung. Pengaturan cahaya di panggung harus menggambarkan keadaan /peristiwa yang sedang terjadi di atas panggung.
Penata panggung dalam sandiwara menyatu dengan penata lampu dan sound, jadi orang-orang tersebut yang menata sedemikian rupa panggung agar terlihat asli seperti apa yang diharapkan dan sinkron dengan cerita yang dibawakan. Begirupun dengan lampu dan sound agar suara atau efek suara dari pementasan dapat lebih mendukung sebuah cerita yang dipentaskan.
7.      Tata Suara
Tata suara bukan hanya pengaturan pengeras suara, melainkan musik pengiring juga. Musik pengiring diperlukan juga agar suasana yang digambarkan terasa lebih meyakinkan dan mantap bagi para penonton. Alat musik yang biasanya digunakan, misalnya seruling, biola, organ, dan sebagainya.
Dalam pementasan Sandiwara musik pengiring sangat berpengaruh untuk membuat efek lebih hidup dan nyata dalam membawakan sebuah cerita atau lakon. Dengan adanya musik pengiring penonton diajak untuk larut dalam setiap adegan-adegan yang sedang dipentaskan.
8.      Penonton
Penonton termasuk unsur penting dalam pementasan drama. Siapakah penonton? Penonton adalah orang-orang yang mau datang ke tempat pertunjukan. Penonton pun dapat dikategorikan menjadi penonton iseng, penonton peminat dan penonton penasaran.
Ketika kami bertanya tentang bagaimana penonton dalam sebuah pementasan sandiwara, Ibu Munaini menceritakan berbagai macam perilaku dari penonton, ada penonton yang memang dengan serius melihat pementasan, ada penonton yang memang mengikuti setiap alur cerita dalam setiap adegan-adegan dan ada pula penonton yang hanya sekedar iseng-iseng saja.
  Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khusunya untuk kami dan umumnya untuk yang membaca, dan setelah mengetahui bagaimana uniknya dari sebuah sandiwara kita akan lebih menghargai para seniman-seniman daerah yang sudah rela terus melestarikan sebuah seni dan warisan bangsa.

Sejarah Sandiwara Indramayu-Cirebon

INDRAMAYU, sebuah fenomena budaya paling unik di Pantai Utara Jawa Barat. Di daerah ini ratusan kesenian tradisional tumbuh subur bersama masyarakat agraris (rural) dan urban yang ada di dalamnya. Perjalanan panjang sebuah sistem budaya yang merupakan persilanagan antara berbagai budaya di Tanah Air dan mancanegara. Dalam perjalanan sandiwara rakyat – sebagian masyarakat pantura menyebutnya “masres” – berawal dari keinginan berekspresi masyarakat perdesaan yang agraris.
Pada masa kolonial, berkembang seni tooneel (sandiwara), yang ikut memengaruhi lahirnya sandiwara rakyat semacam ketoprak. Pada masa sebelum kemerdekaan, seni semacam ini di Indramayu awalnya disebut setoprak, kemudian ada juga yang menyebutnya “masres” dan sejak dekade 1970an lebih dikenal dengan sebutan sandiwara. “Ihwal penyebutan setoprak merupakan logat lidah wong Dermayu untuk penyebutan seni ketoprak,” kata budayawan Dermayu, penulis buku “Budaya Dermayu” dan “Sisi Gelap Sejarah Indramayu”, Supali Kasim. “Akan halnya sebutan masres, sesungguhnya merupakan sebuah nama kelompok di daerah Bedulan/Suranenggala Kabupaten Cirebon. Lama kelamaan masyarakat menyebut kesenian tersebut sebagai masres”.
Penamaan lain asal usul “masres” pernah disampaikan “Raja Tarling” H. Abdul Adjib (alm), berasal dari nama benang dalam membuat kelir atau layar. Layar pembuka sandiwara rakyat ini bermacam-macam. Ada yang merah, kuning, hijau, maka masyarakat pun menyebutnya dengan penyesuaian kelir tersebut, seperti masres abang (merah), masres ijo (hijau) dan masres kuning. “Sudah menjadi salah kaprah dalam sebutan, seperti sebutan pada merek air mineral atau jean, masyarakat menyebutnya mereknya, bukan nama bendanya,” ujar H. Abdul Adjib dalam diskusi di berbagai tempat saat masih aktif berkesenian.
Tahun 1960 dan 1970an merupakan masa keemasan jenis sandiwara rakyat ini. “Di sepanjang jalur jalan raya Pantura Dermayu, deretan nama-nama sandiwara, seperti Chandra Kirana, Langensari, Tjenderawasih dan lainnya seakan bersaing menawarkan kelompoknya untuk ditanggap,” ujar budayawan Dermayu lainnya, Nurochman Sudibjo dalam suatu perjalanan di sepanjang Pantura bersama penulis.
Fenomena yang sama terjadi pula di sepanjang jalar Pantura Kabupaten Cirebon. Dari perbatasan Krangkeng Indramayu hingga Desa Kalisapu Kabupaten Cirebon berjajajar pula nama-nama grup sandiwara, seperti Budi Suci, Budi Dharma dan sebagainya. Kini, seperti juga kata Nurochman, papan nama atau plang-plang sandiwara rakyat itu telah berganti dengan nama jenis kesenian lain, seperti organ tunggal, grup dangdut dan sebagainya.
Karakteristik masyarakat pantura yang keras, ternyata berubah drastis menjadi ekspresi seni dalam bentuk kelembutan, kewibawaan dan kearifan saat mereka bermain di atas panggung atas tanggap tuan hajat. Gelar “raja sewengi” atau “begal sewengi” telah menjadi fenomena kebanggaan bagi para pemeran lakon-lakon tersebut.
Sejak 1940an
Menurut Supali Kasim, kemunculan sandiwara rakyat tersebut sekira tahun 1940an. Sebelumnya sudah ada jenis kesenian reog Cerbonan, yang berjuluk “Reog Sepat”, yang ceritanya dari kontek kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama terdapat kesenian yang disebut tooneel/stambul/ketoprak grup Cahya Widodo dengan acara “bebarang” atau ngamen. Tahun 1956 ada nama kelompok “masres” di Desa Bedulan (Suranenggala) Kabupaten Cirebon.
Di Indramayu pada 1950an muncul grup sandiwara yang dipelopori mama Domo Suradji dengan grupnya “Tjendrawasih” di Desa Lohbener Indramayu. Mama Domo banyak berperan sebagai pelaku protagonis (serie//pemain utama), namun terkadang juga menjadi penari pembuka atau pelawak (bodor), di samping sebagai sutradara. Selepas dari grup Cendrawasih, ia masuk ke grup-grup lainnya, seperti Panglipur Manah (Lohbener), Chandra Kirana (Gegesik, Cirebon) dan Indra Putra (Cangkingan, Indramayu).
Berbagai grup lainnya bermunculan di darah lumbung padi tersebut, Gadjah Mada (Sukra) pada 1955, Dharma Saputra (Plumbon Indramayu), Aneka Tunggal (Pawidean, Jatibarang), Tunggal Ika Itugu Sliyeg), Indra Putra (Cangkingan) Purba Sari (Lelea), Erlangga (Bongas), Dwi Warna (Losarang), Gema Nusantara (Sukra), Dharma Ayu (Anjatan), Yudha Putra (Bangkir), Sang Putra Dharma (Plumbon Indramayu), Nawang Wulan (Bongas) dan nama-nama lainnya di berbagai pelosok desa.
“Tema yang diangkat dalam laokon sandiwara, sebenarnya merupakan gambaran pemerintahan dan rakyat sebuah kerajaan yang diidealkan masyarakat,” ungkap Supali. “Setting yang diambil berlatar kerajaan atau kesultanan pada suatu zaman di Nusa Jawa. Pemerannya adalah gambaran ideal putri raja yang cantik, pangeran yang tampan, raja yang sakti, permaisuri yang sabar, maha patih yang bijak ataupun tokoh antagonis oknum pejabar kerajaan yang jahat atau juga gambaran buta (raksasa) sebagai simbol masyarakat primitif dan tidak beradab.”
Gambaran tersebut, menurutnya, mengidealkan bagaimana negara harus mampu menyingkirkan musuh sekaligus memakmurkan rakyatnya. “Seni sandiwara meraih booming sejak 1960an hingga dekade 1990an,” ujarnya. (NMN)***
Posted by Herlando